Pada bagian yang pertama telah diuraikan secara panjang lebar perihal kitab undang-undang pada jaman kerajaan Majapahit yang disebut dengan Kutara Manawa, selanjutnya pada bagian kedua ini akan sedikit diuraikan perihal susunan atau sistematika dari kitab perundang-undangan tersebut, sebagai berikut.
SUSUNAN DAN ISINYA
Susunan kitab Kutara Manawa (agama) seperti adanya dalam bahasa Jawa Kuno beraduk tidak karuan, boleh dikatakan tidak dapat diketahui ujung pangkalnya. Untuk memperoleh gambaran tentang hal-hal yang dijadikan undang-undang tersebut, maka susunan yang beraduk tersebut disesuaikan dan diatur kembali ke dalam pelbagai bab, dimana pada tiap-tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis sehingga ada sekedar sistematik dalam susunannya, sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem yang tidak diketahui lagi. Mungkin usaha penyusunan kembali itu sekedar mendekati susunan aslinya. (Prof. Dr. Slametmulyana, Negarakretagama dan Tafsir sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1979, hal. 184).
Hasil usaha penyusunan kembali tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Ketentuan umum mengenai denda ; Bab II : Delapan macam pembunuhan yang disebut astadusta ; Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula ; Bab IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah ; Bab V : Paksaan atau sahasa ; Bab VI : Jual-beli atau adol-atuku ; Bab VII : Gadai atau sanda ; Bab VIII : Utang-piutang atau ahutang-apihutang ; Bab IX : Titipan ; Bab X : Mahar atau tukon ; Bab XI : Perkawinan atau kawarangan ; Bab XII : Mesum atau paradara ; Bab XIII : Warisan atau drewe kaliliran ; Bab XIV : Caci-maki atau wakparusya ; Bab XV : Menyakiti atau dandaparusya ; Bab XVI : Kelalaian atau kagelehan ; Bab XVII : Perkelahian atau atukaran ; Bab XVIII : Tanah atau bhumi ; Bab XIX : Fitnah atau duwilatek.
Pada jaman kerajaan Majapahit, pengaruh India meresap dalam segala bidang kehidupan, pengaruh India tersebut juga terasa sekali dalam bidang perundang-undangannya. Nama agama dan Kutara Manawa telah jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam bidang perundang-undangannya. Kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dijadikan pola dasar perundang-undangan pada masa Majapahit yang disebut dengan agama atau Kutara Manawa isinya adalah saduran dari kitab perundang-undangan India tersebut yang telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Dalam bab umum dari kitab Kutara Manawa dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal pengetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan. Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.
Kitab Kutara Manawa ini pada dasarnya adalah merupakan kitab undang-undang jenayah atau pidana, karena isinya terutama langsung menyangkut penjelasan-penjelasan tentang tindak-tindak pidana yang dapat dikenai denda atau hukuman berupa uang, barang atau hukuman mati, dan di dalam kitab ini tidak banyak mengandung nasehat seperti dalam kitab Manawadhamasastra.
Pada pasal 109 kitab Kutara Manawa dijelaskan bahwa isi kitab perundang-undangan ini disarikan dari kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dan Kutaradharmasastra. Bunyinya seperti berikut ini : "Kerbau atau sapi yang digadaikan setelah lewat tiga tahun, leleb sama dengan dijual menurut undang-undang Kutara, menurut undang-undang Manawa baru leleb setelah lewat lima tahun. Ikutilah salah satu karena kedua-duanya adalah undang-undang. Tidak dibenarkan anggapan bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Manawadharmasastra adalah ajaran Maharaja Manu, ketika manusia baru saja diciptakan, beliau seperti Bhatara Wisnu. Kutarasastra adalah ajaran begawan Bregu pada jaman Treptayoga, beliau seperti Bhatara Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang ; bukan buatan jaman sekarang, ajaran itu telah berlaku sejak jaman purba".
Dalam kitab Kutara Manawa tersebut banyak terdapat pasal-pasal yang dikatakan berasal dari ajaran bagawan Bregu (Kutarasastra) misalnya seperti pada pasal 46, 141, 176 dan pasal 234. Adanya beberapa pasal yang sangat mirip dalam kitab Kutara Manawa menunjukkan bahwa kitab perundang-undangan tersebut selain bersumber dari Manawadharmasastra juga menggunakan perundang-undangan lainnya sebagai acuan, misalnya seperti pada pasal 192 dan 193, pasal 121 dan pasal 123. Bab paksaan atau sahasa dalam kitab Kutara Manawa berbeda dengan apa yang terdapat pada Manawadharmasastra.
Selanjutnya silahkan baca pada bagian yang ketiga
0 komentar:
Posting Komentar