Kutaramanawa atau Kutaramana-wadharmasastra adalah Kitab perundang-undangan yang dipakai pada jaman kerajaan Majapahit. Kitab perundang-undangan ini memiliki watak yang mirip sekali dengan Manawadharmasastra, kedua-duanya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi kebaikan masyarakat.
Dalam kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan Kitab undang-undang Kutara Manawa akibat dari tindakannya membunuh Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Kidung Sorandaka ini termasuk dalam golongan sastra muda (ditulis setelah runtuhnya Majapahit), sehingga untuk lebih sahihnya perlu ada penguatan-penguatan lain yang berbentuk prasasti atau piagam-piagam jaman Majapahit.
Terdapat dua prasasti atau piagam yang dapat dijadikan penguatan perihal sebutan Kutara Manawa ini, yang pertama adalah prasasti Bendasari (tidak bertarikh) dan prasasti Trawulan berangka tahun 1358.
Prasasti (piagam) Bendasari (yang jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara) termuat dalam O.J.O LXXXV, lempengan 6a, yang antara lain menyebutkan " ..makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda karing malama ..." artinya 'Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebiasaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian zaman dahulu'.
Prasasti (piagam) Trawulan yang berangka tahun 1358, dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang sebagian bunyinya adalah " ... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwecana tatpara kapwa sama-sams sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ..." yang artinya 'Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan makna kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa'.
Dari uraian ke dua prasasti (piagam) tersebut diatas, jelaslah bagi kita bahwa nama kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit ialah Kitab Kutara Manawa. Kitab ini pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G. Jonker pada tahun 1885 dan disebut dengan istilah Agama yang artinya undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu disebut Kutara Manawa. Hal ini semakin memperjelas kepada kita bahwa kitab perundang-undangan jaman Majapahit adalah Kutara Manawa, dan seharusnya masihlah ada sampai saat ini. Kitab Negarakertagama dalam pupuh XXV/2 dan LXXIII/1 menyebutnya dengan kitab undang-undang Agama yang hendaknya dimaknai sebagai undang-undang. Naskah aslinya ditemukan di Pulau Bali dan saat ini mungkin masih tersimpan di Leiden, tercatat dalam Dr. Th. Pigeaud, Literature of Jawa vol.1, seperti berikut : cod. 2215 (versi Jonker, Vulgata menurut van der Tunk), 3650 (=4278, Digest), 3878, 3904 (dengan Swara Jambu), 3905, 3954 (Digest), 4279 (Digest, 6203a no. 11a, 11b (variae lectiones, glossary, index).
Dalam kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan Kitab undang-undang Kutara Manawa akibat dari tindakannya membunuh Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Kidung Sorandaka ini termasuk dalam golongan sastra muda (ditulis setelah runtuhnya Majapahit), sehingga untuk lebih sahihnya perlu ada penguatan-penguatan lain yang berbentuk prasasti atau piagam-piagam jaman Majapahit.
Terdapat dua prasasti atau piagam yang dapat dijadikan penguatan perihal sebutan Kutara Manawa ini, yang pertama adalah prasasti Bendasari (tidak bertarikh) dan prasasti Trawulan berangka tahun 1358.
Prasasti (piagam) Bendasari (yang jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara) termuat dalam O.J.O LXXXV, lempengan 6a, yang antara lain menyebutkan " ..makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda karing malama ..." artinya 'Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebiasaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian zaman dahulu'.
Prasasti (piagam) Trawulan yang berangka tahun 1358, dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang sebagian bunyinya adalah " ... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwecana tatpara kapwa sama-sams sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ..." yang artinya 'Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan makna kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa'.
Dari uraian ke dua prasasti (piagam) tersebut diatas, jelaslah bagi kita bahwa nama kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit ialah Kitab Kutara Manawa. Kitab ini pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G. Jonker pada tahun 1885 dan disebut dengan istilah Agama yang artinya undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu disebut Kutara Manawa. Hal ini semakin memperjelas kepada kita bahwa kitab perundang-undangan jaman Majapahit adalah Kutara Manawa, dan seharusnya masihlah ada sampai saat ini. Kitab Negarakertagama dalam pupuh XXV/2 dan LXXIII/1 menyebutnya dengan kitab undang-undang Agama yang hendaknya dimaknai sebagai undang-undang. Naskah aslinya ditemukan di Pulau Bali dan saat ini mungkin masih tersimpan di Leiden, tercatat dalam Dr. Th. Pigeaud, Literature of Jawa vol.1, seperti berikut : cod. 2215 (versi Jonker, Vulgata menurut van der Tunk), 3650 (=4278, Digest), 3878, 3904 (dengan Swara Jambu), 3905, 3954 (Digest), 4279 (Digest, 6203a no. 11a, 11b (variae lectiones, glossary, index).
Info selengkapanya dapat dibaca di sini.