Di dalam menuliskan sejarah kerajaan Majapahit, perkara perundang-undangan yang berlaku pada masa itu jarang sekali disinggung, karena kebanyakan di antara sarjana sejarah dalam bidang Asia Tenggara kurang faham akan hal itu, sedangkan para sarjana dalam bidang Jawa kuno kurang menaruh perhatian terhadapnya.
Dr. J.C.G Jonker adalah sarjana Belanda pertama yang mengadakan penelitian perbandingan antara perundang-undangan Jawa kuno dengan perundang-undangan Manawa (India), karyanya berjudul Een Oud-Javaansch wetboek vergeleken met Indische rechtsbronnen dimajukan sebagai thesis Universitas Leiden pada tahun 1885, yang dijadikan dasar penelitiannya ialah kitab Undang-undang Agama yang berasal dari pulau Bali. Pada waktu itu penelitian tentang Majapahit belum dimulai. Oleh karena itu Jonker tidak menyinggung Majapahit dalam pembahasannya. Sarjana Belanda kedua yang juga tertarik kepada perundang-undangan Majapahit ialah Dr. G.A.J Hazeu, sarjana ini menerbitkan Tjebonsch Wetboek (Papakem Tjerbon) van het jaar 1768, dalam seri VBG LV, 1906. Akibatnya bidang perundang-undangan Majapahit ini lama terbengkalai, penelitian terhadap undang-undang jaman Majapahit ini menjadi penting dalam rangka pengetahuan tentang sejarah perundang-undangan di Asia Tenggara, terutama karena perundang-undangan Majapahit ditulis dalam abad ke empat-belas, namun perundang-undang ini tidak memiliki kaitan langsung dengan kehidupan kenegaraan jaman sekarang.
Prof. Djokosutono seorang sarjana hukum adat pada Universitas Indonesia Jakarta yang diserahi tugas memimpin Lembaga Hukum Nasional (meninggal pada tahun 1965) pernah menyesalkan demikian : ' Seandainya peraturan-peraturan pada jaman Majapahit yang diterapkan oleh Gajah Mada, tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini !'. Penyesalan tersebut dapat ditafsirkan bahwa beliau ingin menggunakan perundang-undangan Majapahit sebagai landasan hukum nasional Negara Republik Indonesia. Keinginan ini tentu berhubungan erat dengan kedudukan beliau sebagai kepala Lembaga Hukum Nasional yang didirikan pada sekitar tahun lima puluhan dan memperoleh tugas khusus dari Kepala Negara untuk menyusun hukum nasional sebagai ganti hukum kolonial yang masih berlaku hingga saat ini. Hasil penelitian beliau diterbitkan oleh Penerbit Bhratara pada tahun 1967 di bawah judul Perundang-undangan Majapahit.
Negarakertagama di dalam pupuh LXXIII memberitakan, bahwa dalam soal pengadilan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara tidak bertindak serampangan, tetapi patuh mengikuti undang-undang, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak. Demikianlah pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk telah ada kitab undang-undang (agama) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan proses pengadilan.
KITAB KUTARA MANAWA
Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut kita mengetahui tentang adanya kitab undang-undang Kutara Manawa pada jaman kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasasti-prasasti jaman Majapahit setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari tidak bertarikh dan Prasasti Trawulan berangka tahun 1358.
Pada Prasasti Bendasari yang jelas-jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, kedapatan nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini :
"Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama" artinya :"Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.
Pada Prasasti Trawulan , 1358 yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang bunyinya seperti berikut ini :
" .... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ...." artinya : "Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".
Dari uraian kedua prasasti tersebut di atas, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada jaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885 dan disebut Agama yang artinya undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kutara Manawa, oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan jaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.
Kitab perundang-undangan jaman Majapahit Kutara Manawa yang dalam Negarakertagama disebut dengan agama sebagaimana adanya sekarang ini terdiri dari 275 pasal, namun ternyata bahwa diantaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali, sehingga di dalam terjemahannya hanya disajikan 272 pasal saja, karena salah satu pasal telah rusak dan dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis.
Selanjutnya silahkan menuju ke bagian kedua
Prof. Djokosutono seorang sarjana hukum adat pada Universitas Indonesia Jakarta yang diserahi tugas memimpin Lembaga Hukum Nasional (meninggal pada tahun 1965) pernah menyesalkan demikian : ' Seandainya peraturan-peraturan pada jaman Majapahit yang diterapkan oleh Gajah Mada, tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini !'. Penyesalan tersebut dapat ditafsirkan bahwa beliau ingin menggunakan perundang-undangan Majapahit sebagai landasan hukum nasional Negara Republik Indonesia. Keinginan ini tentu berhubungan erat dengan kedudukan beliau sebagai kepala Lembaga Hukum Nasional yang didirikan pada sekitar tahun lima puluhan dan memperoleh tugas khusus dari Kepala Negara untuk menyusun hukum nasional sebagai ganti hukum kolonial yang masih berlaku hingga saat ini. Hasil penelitian beliau diterbitkan oleh Penerbit Bhratara pada tahun 1967 di bawah judul Perundang-undangan Majapahit.
Negarakertagama di dalam pupuh LXXIII memberitakan, bahwa dalam soal pengadilan Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara tidak bertindak serampangan, tetapi patuh mengikuti undang-undang, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak. Demikianlah pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk telah ada kitab undang-undang (agama) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan proses pengadilan.
KITAB KUTARA MANAWA
Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut kita mengetahui tentang adanya kitab undang-undang Kutara Manawa pada jaman kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasasti-prasasti jaman Majapahit setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari tidak bertarikh dan Prasasti Trawulan berangka tahun 1358.
Pada Prasasti Bendasari yang jelas-jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, kedapatan nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini :
"Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama" artinya :"Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.
Pada Prasasti Trawulan , 1358 yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang bunyinya seperti berikut ini :
" .... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ...." artinya : "Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".
Dari uraian kedua prasasti tersebut di atas, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada jaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885 dan disebut Agama yang artinya undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kutara Manawa, oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan jaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.
Kitab perundang-undangan jaman Majapahit Kutara Manawa yang dalam Negarakertagama disebut dengan agama sebagaimana adanya sekarang ini terdiri dari 275 pasal, namun ternyata bahwa diantaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali, sehingga di dalam terjemahannya hanya disajikan 272 pasal saja, karena salah satu pasal telah rusak dan dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis.
Selanjutnya silahkan menuju ke bagian kedua
1 komentar:
Inilah salah satu bukti bahwa Majapahit bukan Kesultanan Islam, artikel tentang Kutara Manawa ini akan menambah wawasan berpikir kita
Posting Komentar